BANDA ACEH – Seekor gajah sumatra jantan ditemukan mati di Desa Ranto
Sabon, Kecamatan Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh, Minggu
(14/7). Saat ditemukan, gajah berumur 30 tahun itu dalam kondisi leher
terputus dan sudah tidak memiliki gading yang panjangnya lebih dari 1
meter.
Ketua Ranger Conservation Response Unit (CRU) Sampoiniet, Kabupaten Aceh
Jaya, Mukhtar, menyebutkan bahwa gajah jantan tersebut mati sekitar
tiga hari silam.
“Gajah tersebut mati bukan diracun, tapi terkena perangkap besi yang
sangat tajam sehingga leher gajah terputus. Saat kami temukan, masih
terlihat ceceran darah di sekitar bangkai gajah,” ujar Mukhtar.
Ia mengakui, tim dari CRU Sampoiniet yang terdiri dari Ranger, Mahot
(perawat gajah), dan Polisi Hutan Kabupaten Aceh Jaya menemukan bangkai
gajah jantan tersebut saat sedang melakukan patrol rutin.
“Saat sedang berpatroli, warga melaporkan ada gajah mati di kebun yang
sudah tidak dimanfaatkan warga. Saat kami temukan, gading gajah tersebut
sudah tidak ada,” ujar mantan penebang kayu ilegal tersebut.
Mukhtar menyebutkan, sebelumnya memang ditemukan gajah mati di pinggiran hutan Kecamatan Sampoiniet.
“Namun kali ini, seperti sengaja dipasang perangkap untuk diambil
gadingnya, terlebih gajah yang mati tersebut sudah sangat tua dan
memiliki gading yang panjang,” kata Mukhtar.
Mukhtar menambahkan, gajah jantan yang diberi nama Geng (pemberani)
tersebut memang sering berada di pinggiran hutan Kecamatan Sampoiniet,
namun keberadaan gajah tersebut tidak merusak seperti kawanan gajah yang
lain.
“Gajah itu memang selalu berada di sekitar kebun penduduk, malah ketika
kami usir dia tidak mau lari. Tapi dia tidak merusak, hanya berjalan di
sekitar perkebunan warga,” kata Mukhtar.
Ia juga menyebutkan, selain sering berada di sekitar perkebunan warga,
gajah itu juga beberapa kali masuk ke pekarangan CRU Sampoiniet, Aceh
Jaya, namun lagi-lagi tidak mengganggu Ranger atau Mahot yang menginap
di posko.
“Malah, gajah jantan itu pernah kawin dengan gajah jinak yang berada di
CRU dan sekarang gajah betina itu telah melahirkan anak berumur sepuluh
bulan,” Mukhtar menambahkan.
Proses Hukum Lemah
Mukhtar berharap aparat penegak hukum, khususnya polisi dan Balai
Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) segera menyelidiki kasus kematian
gajah jantan tersebut sehingga ke depan tidak lagi terulang kasus yang
sama.
“Kami warga Kecamatan Sampoiniet, tidak mau ke depan anak cucu kami
tidak lagi mengenal gajah karena telah musnah,” ungkap Mukhtar.
Sebelumnya, aktivis lingkungan di Aceh, Ratno Sagita menyebutkan,
meskipun sebagian besar satwa liar telah dimasukkan dalam kategori
dilindungi, namun lemahnya penegakan hukum belum bisa memberikan rasa
aman bagi berbagai jenis satwa liar tersebut. Hingga kini, satwa liar
masih terus ditangkap untuk berbagai kepentingan oleh banyak pihak.
Ratno menyebutkan, setiap tahun, pembunuhan gajah masih terus terjadi.
Satwa bertubuh besar tersebut tidak hanya diburu untuk diambil gadingnya
lalu di jual di pasar gelap, tapi juga dibunuh karena dinilai kerap
mengganggu perkebunan, khususnya kelapa sawit.
“Data yang berhasil dikumpulkan, pada 2012, sekitar 15 bangkai gajah
sumatra ditemukan di sejumlah provinsi. Gajah tersebut diperkirakan
kemungkinan besar dibunuh," kata dia.
Jumlah tersebut, ujar Ratno, jauh lebih tinggi daripada 2011 yang hanya ditemukan sekitar lima ekor gajah mati.
“Dibandingkan tahun 2012 dengan 2011, terjadi kenaikan jumlah kematian gajah sekitar 10 ekor," ujar Ratno.
Ia mengatakan, biasanya gajah dibunuh dengan cara diracun untuk diambil
gading atau dibunuh karena dianggap hama yang merusak perkebunan
khususnya kelapa sawit.
Pada 2012, bangkai gajah ditemukan di sejumlah daerah di Aceh, sebut
saja Aceh Timur, Aceh Utara, Pidie, Aceh Jaya, dan Aceh Selatan. Ratno
menambahkan, sebagian besar gading gajah dari Aceh, biasanya dijual ke
Medan, Sumatra Utara, dengan harga yang sangat tinggi. Kemudian dari
Sumut, gading gajah dibawa ke luar negeri melalui pelabuhan-pelabuhan
kecil.
Ratno juga mengatakan, sejak 2003 hingga 2013, belum pernah terdengar
adanya proses hukum terhadap penangkap, pemburu, dan pemelihara, atau
penjual satwa yang dilindungi di Aceh.
Sumber : Sinar Harapan